Dari beberapa email yang masuk ada yang
memiliki pertanyaan yang sama yang akan saya jawab sebagai artikel.Kita
membahas kasus. Untuk perusahaan ( anggap bisnis resto ) yang sudah dibangun
antara 2 - 3 tahun tapi ternyata kurang memberi omzet yang menguntungkan/
menggembirakan, maka perlu didiagnosa dan analisa penyebabnya.
Kadang kita tidak menyadari bahwa
sebetulnya masalah bukan datang dari luar, tapi justru dari dalam intern
sendiri. Masalah organisasi misalnya perlu didiagnosa dahulu sebelum kita menyalahkan
hal lain.
Coba kita analisa intern dulu
ORGANISASI
Banyak perusahaan yang sebetulnya secara
konsep bisnis sudah OK, tapi ternyata pengelolaan organisasinya yang
bermasalah. Terutama aturan main organisasi untuk bisnis kecil seperti resto
langsung ada di tangan owner. Owner mungkin sudah menunjuk manager operasional
outlet yang tetap saja harus bekerja detail by detail atas instruksi dari
owner. Termasuk jika owner menerapkan ada aturan main denda kepada karyawan
jika ada yang datang terlambat, atau ada yang salah input harga, atau pecahkan
piring tidak sengaja, dan kesalahan lain lain. Mungkin maksud owner
ingin menanamkan disiplin kepada karyawannya agar bekerja sebaik mungkin dan
sesuai prosedur agar zero mistake. Apakah sebaliknya juga ada jika ada karyawan
yang selama setahun tidak pernah terlambat, atau selama setahun tidak pernah
salah prosedur kerja atau sering mendatangkan pelanggan baru, apakah prestasi
tersebut juga direspon dengan reward atau penghargaan uang khusus? Kalau tidak
maka organisasi memberlakukan hukum yang tidak positif. Hanya menekankan
punishment tetapi tidak memberlakukan reward. Saya yakin pasti frekuensi turn
over karyawan sangat tinggi karena merasa tidak aman dan nyaman dengan
pekerjaannya
PUNISHMENT Vs REWARDS
Tapi hal punishment denda uang ini kurang
kondusif untuk bisnis service. Dalam bisnis service seperti resto biasa untuk
segmen umum rasanya standard gaji karyawan setara waiterpun tidak terlalu
besar. Bayangkan kalau karyawan sudah membayangkan kalau salah ini itu lalu
gajinya dipotong 2-3x denda yang mungkin bulan ini dia bisa lakukan, maka
tinggal sisa berapa take home payment-nya. Padahal dengan gaji yang diterima
sekarangpun setelah dikurangi makan, transport, cicilan motor, pengobatan
dokter, kasih orang tua dll itupun masih kurang. Dengan kondisi psycologis
seperti itu, apa mungkin seorang karyawan bisa memancarkan aura "service
oriented" di wajahnya? Yang ada mungkin malah aura takut bekerja ,takut
ini itu salah, padahal dalam bisnis service unsur spontanitas service dalam
bertugas sangat penting. Misalnya inisiatif manager outlet memuji anak
pelanggan yang lucu, waiter dengan cara tutur kata yang menarik menawarkan
makanan menu terbaru, bagi waitress bisa memuji kecantikan pelanggan, dengan
senyum lebar dan gestur yang sopan. Hal hal spontanitas yang positif ini hanya
bisa keluar jika dalam hati juga sudah merasa nyaman dengan kerjanya. Dia tidak
akan merasa nyaman jika dihantui "potongan denda" atau mendapat
sugesti pengaruh emosional dari temannya yang sudah mendapatkan penalti denda.
Ingat ini kerja team work, jadi bukan hanya aura positif yang ditularkan tapi
juga aura negatif yang dirasakan satu orang, bisa berpengaruh pada aura anggota
team lain. Bahkan karyawan yang kecewa bila dia coba mempengaruhi mindset teman
temannya bisa menjadi virus yang pelan pelan menggerogoti perusahaan.
KEWENANGAN MANAGER
Memang tidak ada jaminan kalau denda ini
dihapuskan maka lantas karyawan berkerja secara sembarangan karena toh tidak
ada sanksinya. Sanksinya tentu saja tetap manager yang mengawasi satu persatu
anggota organisasi lain setiap bulannya. Sanksi bisa diterapkan sewajarnya,
misalnya kalau uang di kasir kurang 200rb dari hitungan mesin kasir, maka kita
hukum secara team mereka harus kumpulkan 200rb untuk menutup kekurangan. Masih
fair untuk karyawan dan selanjutnya mereka akan saling jaga agar kejadian
kurang/ hilang uang tidak terjadi lagi.
Manager sebagai perwakilan owner di bisnis
harusnya memang mendapat "tempat terhormat" di mata karyawan. Bukan
hanya title manager tapi seluruh karyawan tahu bahwa manager tersebut tidak ada
kewenangannya untuk bertindak atau mengambil keputusan. Maka
penghormatan karyawan kepada manager seperti ini akan beda dengan manager yang
memang dikuasakan penuh kewenangan owner. Wibawanya, perintah yang
dikeluarkannya, meeting yang dipimpinnya, dokumen yang ditanda tanganinya, akan
lebih jadi berbobot jika karyawan tahu dengan jelas bahwa dia betul manager
yang dikuasakan owner, bukan hanya "manager boneka". Maka perlu
kebijaksanaan dari owner untuk memberikan kepercayaan penuh kepada manager
operasional. Seharusnya bisa diberikan kepercayaan penuh karena manager
diseleksi, dipilih langsung oleh owner. Tentu saja sebelum manager terpilih
bertugas harus jelas dulu batasan batasan mana keputusan yang bisa diambil
sendiri dan mana keputusan yang harus didiskusikan dahulu bersama owner.
Manager juga bertanggung jawab atas
seluruh member organisasi dibawahnya, tugasnya menstandarisasi
service skill setiap karyawan dan memberi teguran sesuai hierarkhi struktur
organisasi dan hukuman yang pantas jika ada pelanggaran.
KEBIJAKAN BUDAYA PERUSAHAAN
Membentuk mental positif karyawan bukan
dengan mengembangkan rasa takut, justru harus dengan "rasa memiliki".
Cara Owner atau manager sebagai wakil owner menimbulkan "rasa
memiliki" ini kepada karyawan bisa dengan didengar pendapatnya, kadang
kita hanya perlu memberi reward tanpa punishment, misalnya jika omzet sampai di
angka Rp.50juta per bulan maka ada bonus 2% omzet yang dibagikan rata kepada
setiap karyawan. Secara logika pasti seluruh team kerja akan berusaha kejar
omzet minimal tersebut dan dengan sendirinya memperkecil kemungkinan salah
prosedur karena ingin bekerja sebaik mungkin. Penekanannya bukan di denda tapi
justru di bonus. Bahkan acara gathering misalnya ke pantai rekreasi bersama
dengan owner dan manager dalam suasana informal bisa mengikat kebersamaan yang
lebih kuat dan positif.
Budaya menghargai dan bukan budaya hukuman
ini yang harus diimplementasikan di outlet jika ingin bisnis maju ke depan
secara cepat. Prospek bisnis bagus tapi perangkat kerja di dalamnya tidak bisa
mengimbangi kebutuhan organisasi yang efektif dan produktif maka akan susah
memenuhi target.
RE-CONCEPT
Jika terbukti bahwa setelah organisasi
diperbaiki dan memang belum juga ada perbaikan, maka baru arahkan perbaikan di
strategi bisnis. Mulai dari cara marketing, promo, co branding dan cross
selling bahkan merubah brand dan re-image jika dibutuhkan. Secara analisa produk mungkin harga jual
produk juga terlalu tinggi atau analisa variasi produk menu yang memang kurang
diminati diganti dengan yang lebih menjual. Perbaiki konsep interior room
mungkin biar lebih fresh setelah 2 tahun. Memang jika hasil analisa sampai pada
keputusan harus diredesign kembali secara major maka akan dibutuhkan biaya
investasi yang cukup besar. Dengan hasil bisnis yang 2 tahun sudah berjalan
tapi belum menghasilkan omzet optimal maka kebanyakan owner pasti segan untu
re-invest kembali karena ada trauma dananya tidak kembali modal. Untuk
memfokuskan upaya turn around ini bisa saja bagi resto yang sudah buka lebih
dari satu outlet bisa fokus dulu di satu outlet di daerah pasar paling potensial sebagai role model .
Dikembangkan sampai mantap menjadi pola
bisnis outlet resto yang menguntungkan, baru dikembangkan di outlet outlet lain
MITRA SHARING SAHAM
Karena misalnya alasan ruko sewa masih
misalnya ada 3 tahun lagi dan bisnis yang ada tidak mungkin ditutup begitu saja
karena walaupun belum booming tapi sudah cukup dikenal di kawasan sekitar
outlet, maka perlu dipertimbangkan adanya melibatkan mitra investor luar yang
tertarik bergabung sebagai owner resto. Jika sudah ada investor mitra, maka re
born resto baru harus betul betul dijalankan dengan konsep bisnis yang lebih
fresh dan dijalankan dengan organisasi lebih handal dan budaya perusahaan yang
lebih positif. Bagaimanapun pengalaman 2 tahun mengelola outlet
resto yang kurang berhasil pasti membawa pelajaran penting bagi owner. Jika
perlu gunakan jasa konsultan bisnis agar tujuan bisnis lebih terarah dan lebih
cepat tercapai. Seperti kisah INUL VIZTA karaoke keluarga yang awalnya di tahun
2005 hanya ingin survive sebagai outlet karaoke keluarga yang sedang bangkrut
di kelapa gading yang masih 3 tahun masa sewanya, tapi karena artis Inul
Daratista mengambil alih kepemilikan dan dukungan konsep turn around strategy ,
positioning, differensiasi dan segmentasi yang tepat , organisasi yang kuat
juga member karyawannya memenuhi spesifikasi skill dibutuhkan, ditambah edukasi
yang efektif maka dari sekedar ingin bertahan hidup,ternyata bahkan dapat
opportunity bisnis lebih besar yang di 2011 sudah mencapai lebih
dari 50an outlet.
Demikian sebagai pandangan. SEMANGAT
SUKSES ( Mirza A. Muthi )