Dikutip dari tulisan Andrias Harefa:
Pelajaran bersyukur adalah pelajaran
pertama yang saya anggap penting dalam setumpuk mata pelajaran di sekolah
kehidupan Indonesia. Dalam “mata pelajaran” yang satu ini, guru saya yang
pertama dan terutama adalah almarhumah ibu saya sendiri. Ia mengajarkan kepada
saya agar mendisiplin diri untuk belajar bersyukur dalam segala situasi, baik
di kala suka maupun di kala duka.
Bersyukur di kala suka, yakni saat hidup
berjalan sebagaimana saya harapkan, tidaklah sulit. Saya dengan mudah
mengucapkan syukur atas segala macam hadiah yang saya peroleh, prestasi yang
saya raih, penghargaan yang saya terima, dan berbagai rejeki serta kemudahan
dalam kehidupan sehari-hari. Dan setiap kali saya mengingat-ingat kemurahan
Tuhan, saya dengan mudah dapat mengucapkan syukur dalam hidup saya.
Namun, bersyukur di kala duka acap kali
tidak mudah saya lakukan. Bagaimana saya harus bersyukur ketika hidup berjalan
tidak seperti yang saya inginkan? Ketika saya kecewa karena tidak mendapatkan
apa yang saya harapkan, atau ketika beban kehidupan terasa berat karena harus
menunaikan sejumlah kewajiban dalam keluarga atau dalam pekerjaan, maka
mengucap syukur menjadi soal yang tidak mudah. Apalagi ketika saya berulang
kali harus menerima kenyataan sejumlah usaha yang saya rintis untuk meningkatkan
tarap hidup, justru berakhir dengan kegagalan dan kebangkrutan. Bukan hanya
tidak memberikan hasil seperti yang saya harapkan, saya terkadang harus
menanggung beban hutang yang harus dicicil selama beberapa tahun. Hal-hal
semacam itu membuat saya kecewa, frustasi, sedih, dan hampir putus asa.
Biasanya pada saat-saat semacam itu, gelombang kekhawatiran mengenai masa depan
muncul silih berganti. Masa depan nampak sebagai sesuatu yang menyeramkan, dan
semangat hidup turun pada tingkat terendah.
Saya kemudian menyimpulkan bahwa bersyukur
di kala suka itu mudah, tetapi bersyukur di kala duka memerlukan latihan dan
disiplin. Bersyukur atas berkat yang Tuhan limpahkan itu gampang, tetapi
bersyukur atas penderitaan yang Tuhan ijinkan menimpa hidup saya, jelas tidak
mudah. Dan karena yang terakhir ini tidak mudah, saya perlu mempelajarinya
dengan lebih seksama.
”Sekurang-kurangnya ada dua pilihan yang
bisa kamu ambil ketika hidupmu sedang dilanda kesusahan. Pertama, kamu bisa
mengeluh atau bahkan mengutuk hidup sendiri; Kedua, kamu bisa tetap bersyukur
karena kamu yakin bahwa tidak ada kesusahan yang di ijinkan Tuhan melampaui
kekuatan yang telah diberikannya kepada kamu. Bahkan acapkali kesusahan yang di
ijinkan Tuhan itu sesungguhnya merupakan sebuah proses persiapan untuk kamu
menikmati suka cita yang lebih besar dari yang pernah kamu alami sebelumnya,”
kata Ibu saya. Dan dalam praktik hidup yang nyata, Ibu saya selalu memilih yang
kedua. Sepanjang hidupnya saya tidak pernah mendengar Ibu saya berkeluh kesah.
Ia
selalu bersyukur. Selalu. Ini membuat saya
kagum dan menghormati ajarannya.
Bagi Ibu saya, bersyukur adalah soal
pilihan pikiran dan hati. Kita bebas menentukan pilihan, namun kita
terikat pada dampak yang ditimbulkan oleh setiap pilihan. Entah sadar atau
tidak, bagi Ibu saya jelas bahwa mengeluh dan mengutuki kegagalan dan kesusahan
hidup tidak pernah membuat hidup menjadi lebih baik. Keluhan bahkan membuat
kita makin kehilangan semangat hidup dan terperosok lebih dalam kejurang
keputusasaan. Sebaliknya, dengan tetap mengucap syukur kita kemudian ditolong
untuk menemukan kembali kegairahan hidup, mendapatkan semacam kekuatan untuk
menghadapi kenyataan sepahit apapun. Bersyukur membuat mata pikiran [eye of
mind] dan mata batin [eye of spirit] kita terbuka lebih lebar, sehingga dapat
melihat berbagai kemurahan tuhan yang nyata-nyata telah [bukan] akan Ia berikan
dalam hidup kita. Atas kemurahan Tuhanlah kita masih hidup, masih bisa
bernafas, masih bisa
makan dan minum, masih memiliki pakaian, tempat
tinggal, di beri kesehatan, dan sebagainya. Dengan perkataan lain, bersyukur
menolong kita untuk tetap menjaga perspektif hidup secara keseluruhan, tidak
terjebak hanya melihat sisi gelap kehidupan kita saat menderita.
Bagaimana caranya agar kita tetap mampu
bersyukur dalam segala situasi, terutama ketika situasi kita tidak
menyenangkan? Bagi Ibu saya caranya amatlah sederhana. Ia mempraktikkan syair
lagu berikut:
Bila hidupmu dilanda topan b’rat
Engkau putus asa hatimu penat
Berkatmu kau hitung satu persatu
K’lak kau tercengang melihat jumlahnya...
Itulah caranya. Dan itulah yang saya coba
praktikkan selama berpuluh tahun. Bila kesusahan hidup mendera, saya mengambil
selembar kertas dan memaksa pikiran saya untuk menemukan sejumlah hal yang pantas
saya syukuri dalam hidup. Saya mendaftarkan sejumlah prestasi dan penghargaan
yang pernah saya raih; menambahkan sejumlah hal yang berhasil saya miliki;
menuliskan semua tempat rekreasi dan kota-kota yang pernah saya kunjungi;
mencatat satu per satu anggota tubuh saya yang sehat; buku-buku yang sempat
saya baca; nama-nama orang yang pernah menolong saya atau yang pernah saya
tolong; bahkan juga kesusahan-kesusahan yang pernah saya lalui;
dan seterusnya. Dan sejauh ini harus saya akui, saya akhirnya sering
tercengang melihat jumlahnya. Biasanya saya berhenti ketika daftar syukur saya
mencapai angka seratus. Bila saya lanjutkan, maka jumlahnya pasti bisa ditambah
sepuluh atau dua puluh kali lipat, atau bahkan lebih. Lalu saya merenung dan
bertanya pada diri saya sendiri: tidak cukup banyakkah berkat Tuhan yang telah
nyata-nyata saya terima dan saya alami dalam hidup saya? Lalu adilkah saya bila
karena sebuah penderitaan saja, semua berkat Tuhan itu saya anggap tidak
bernilai? Bukankah pada kenyataannya saya telah menerima begitu banyak berkat
yang melampaui apa yang sesungguhnya saya butuhkan untuk hidup?
Lambat laun, setelah latihan bersyukur
dalam segala situasi selama puluhan tahun, saya kemudian menyadari ada
perbedaan antara orang yang bisa bersyukur dengan orang yang mahir
bersyukur. Sama seperti orang yang bisa berenang harus dibedakan dengan mereka
yang mahir berenang, orang yang bisa naik sepeda harus dibedakan dengan
pembalap sepeda, dan seterusnya. Bisa belum tentu mahir, tetapi mahir pasti
bisa.
Orang yang bisa bersyukur adalah mereka
yang bersyukur ketika hidupnya berjalan sesuai keinginannya, tetapi mengeluh
ketika kesusahan datang. Sementara orang yang mahir bersyukur tetap bisa
mengucap syukur bahkan ketika hidup berjalan tidak seperti yang diharapkan.
Kesadaran ini membuat saya menetapkan dalam hati saya akan menempa diri agar
menjadi orang yang mahir bersyukur, bukan sekadar bisa bersyukur. Bahkan lebih
dari itu, saya berharap bisa ”mewariskan” kecakapan mengucap syukur dalam
segala situasi ini kepada anak-anak saya dan kepada setiap orang yang bisa saya
sentuh hidupnya dengan berbagai cara, termasuk dengan cara menuliskan artikel
sederhana ini.
Tentang kemahiran bersyukur ini saya
pernah melakukan sebuah eksperimentasi selama sepuluh bulan dengan melibatkan
500 peserta program pelatihan dari 20-an angkatan/kelas yang saya fasilitasi.
Dalam salah satu materi pelatihan, saya meminta semua peserta berlomba mebuat
daftar ”25 hal yang saya syukuri dalam hidup”. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk
setiap angkatan hanya 1-2 orang saja yang mampu menyelesaikan daftar syukur
tersebut dalam waktu 4 menit atau kurang [rekor tercepat adalah 2,5 menit].
Lebih dari 95% peserta memerlukan waktu yang lebih lama. Karena itu secara
hipotetis saya menganggap bahwa jumlah yang banyak itu termasuk kategori orang
bisa bersyukur, sementara jumlah yang 5 persen itu bisa dikelompokkan sebagai
orang yang mahir besyukur.
Belajar mengucap syukur dalam segala
situasi, itulah salah satu pelajaran penting yang saya pelajari di sekolah
kehidupan Indonesia. Dan saya sungguh bersyukur bahwa untuk pelajaran yang
sepenting itu, Tuhan memberi saya seorang guru terbaik yang pernah saya kenal:
Ibu saya sendiri.
Tabik!
*) Andrias Harefa; Mindset Therapist,
Penulis 37 Buku Best-seller,
Trainer/Speaker Coach Berpengalaman 20
Tahun, founder www.pembelajar.com.
Dapat dihubungi langsung di www.andriasharefa.com atau FB:
Terimakasih Bang Andrias, atas
pencerahannya dan mohon dimaafkan jika tidak kuasa menahan diri untuk mengutip
tulisan Anda sekedar untuk menyebar kebaikan. Mohon perkenankan..
SEMANGAT
SUKSES ( Mirza A.Muthi )