Saturday, August 11, 2012

KEKUATAN PENDEKATAN LANGSUNG

Menganalisa hasil pilgub DKI Jakarta, mari kita lihat korelasinya dalam sisi marketing. Tgl 11 Juli lalu, rakyat DKI Jakarta melakukan pilgub pemilihan DKI Jakarta 1. Didapat fakta yg menarik bahwa hasil survey beberapa lembaga survey berbeda jauh dengan hasil quick count. Menurut survey bahwa sudah hampir dipastikan pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli akan unggul jauh dibanding calon kandidat lainnya. Bahkan team sukses Foke berani mengumbar pilkada 1 putaran saja, yaitu kemenangan mutlak diatas 50% dimana kemenangan sudah dipastikan tidak perlu diadakan putaran pilkada lagi. Survey ini memang lebih banyak dianalisa dari data data sebelumnya yang bisa diambil sebagai sample. Padahal untuk urusan "trust", faktor X psycologis yang lebih banyak bergerak di lapangan dan tidak dimasukan sebagai parameter dalam survey.

Ternyata pasca pilgub disepanjang perhitungan suara system quick count menunjukan Jokowi Ahok unggul cukup signifikan dibanding 5 kandidat lainnya. Apa kira kira yang menyebabkan Jokowi dan Ahok "lebih menjual" dibanding kandidat lainnya? Padahal "iklan" Foke lebih jor joran. Apalagi sebagai incumbent, Foke tentunya punya rasa percaya diri yang sangat kuat di daerahnya sendiri karena pasti semua warga DKI Jakarta kenal dirinya. Apa lalu kita bisa berpikir kalau begitu brand awareness tidak cukup untuk mengarahkan rakyat DKI Jakarta untuk mencoblos Foke.

Jokowi dikenal sebagai pemimpin kota Surakarta yang juga dinobatkan sebagai  walikota terbaik. Sederet prestasi anugrah penghargaan skala nasional dan international jg sudah disematkan untuk performance Jokowi. Penghargaan itu juga direlevansikan dengan kecintaan rakyat Solo kepada Jokowi, itu membuktikan bahwa Jokowi bukan hanya bekerja di sektor pencitraan, tapi langsung ke aplikasi akar rumput. Bukti nyata yang dirasakan langsung oleh warga kota Solo dengan adanya perubahan skala kota ke arah perbaikan daripada periode walikota sebelumnya.

Jokowi mungkin baru 4 bulan betul betul fokus di kampanye di DKI Jakarta, tapi itupun masih belum terlalu "wah" dibanding strategi team sukses Foke. Strategi kampanye Jokowi Ahok lebih langsung mendekatkan diri ke rakyat pemilih. Berkunjung ke masyarakat kelas bawah,kelas pekerja fisik di perkampungan DKI,rumah tangga,dan semacamnya dimana kelas masyarakat tersebut lebih mengena jika didekati secara "service konvensional", yaitu salam, sapa, senyum. Berkumpul dengan tidak ada jarak sosial, menepuk pundak rakyat dan memeluk manula. Pendekatan yang lebih menyentuh sisi emosional rakyat dan diapresiasi tinggi oleh rakyat.

Sedangkan iklan iklan koran, media Televisi, radio, serta pemaparan strategi dan janji janji yang diselenggarakan station TV antar sesama kandidat akan lebih diserap pemilih level menengah atas. 

Diluar rakyat DKI Jakarta yang melaksanakan haknya, ada  32% masyarakat DKI Jakarta yang notabene kelas menengah atas hanya ikut keputusan final saja dengan memutuskan Golput atau tidak memilih. Mereka lebih memilih memanfaatkan hari libur sehari di Puncak atau Bandung bersama keluarga. Entah karena mereka sudah tidak peduli, tidak ketemu pilihan yang cocok atau karena berpikir sama saja untuk DKI Jakarta siapa pemimpin terpilihnya. Yang bisa merubah keadaan jika ternyata profile Golput ini adalah pemilih incumbent yang tadinya sudah merasa yakin bahwa DKI 1 saat ini akan kembali terpilih. Untuk putaran ke 2 ini mereka bisa berbalik rematch mendukung Foke lagi. Atau sedang terperangah melihat kenyataan bahwa incumbent ternyata bisa kalah juga. Tapi saat ini masyarakat sudah semakin cerdas. Buktinya Faisal Basri yang calon independen bisa lebih unggul dari calon partai politik yang sudah besar.

Pada komposisinya pemilih kelas grass root ini mencakup 60% dibanding 40% pemilih kelas menengah atas. Itupun 70% didalamnya mungkin memang pemilih yang sudah menentukan pilihan kandidat mana yang akan dicoblosnya. Sisanya adalah massa mengambang. Kira kira 30% massa mengambang ini bisa memilih siapa saja di menit menit terakhir. Kalaupun akhirnya Jokowi dan Ahok menjadi terdepan di hasil Pilkada DKI ini diindikasi banyaknya massa mengambang yang detik detik di kotak pemilih mencoblos Jokowi Ahok berdasarkan informasi via social media mengenai keberhasilan Jokowi Ahok di kota Solo, yang hal itu "secara nurani" dimaknai sangat dalam oleh momentum Jokowi, sehingga akal sehatnya seketika memerintahkan tangannya mencoblos Jokowi Ahok. Walaupun secara kenyataan mereka sebagai penduduk berKTP DKI Jakarta belum pernah merasakan langsung "kesaktian" Jokowi seperti yang dirasakan warga kota Solo.
   
Goal dari proses kampanye dan pilkada ini adalah menjual sebanyak banyaknya suara kepada rakyat DKI. Semakin banyak pemilih "membeli" janji dan komitmen dari calon Gubernur, maka dialah yang menang. Belajar dari pilkada DKI ini, massa di dasar piramida yang profilenya lebih merakyat, mengapresiasi aplikasi nyata yang bisa dirasakan lebih bernilai dibanding paparan strategi. Strategi yang dilakukan Jokowi Ahok sudah tepat dan jangan salah, mereka tidak mulai hanya 4 bulan kampanye tapi sesungguhnya sudah selama memimpin Solo. Prestasi Jokowi yang dirasakan masyarakat Solo terpublikasi secara efektif ke seluruh kota di Indonesia, terutama di DKI Jakarta, kota dimana Jokowi mencalonkan diri sebagai Gubernur. Apalagi belum lama ini ada mobil Esemka yang awal tahun ini  sering diekspose di media massa dan mengikat simpati sebagai momentum Jokowi di masyarakat kelas menengah. 

Sebaliknya prestasi Fauzi Bowo di DKI Jakarta walaupun bukannya tidak nyata tapi masih on going progress dan dirasakan cenderung "kurang berpihak" kepada kelas akar rumput. Banyak sekali rakyat akar rumput DKI Jakarta selama periode Fauzi Bowo menjadi Gubernur tidak merasakan perbaikan kesejahteraan dan perbaikan hidup. Rakyat menengah frustasi dengan kemacetan yang makin menggila.
Ini seperti bom waktu, karena justru pemilih terbanyak rakyat DKI ada di kelas akar rumput ini. Team sukses Foke sibuk beriklan di sektor media massa yang diserap oleh segmen menengah atas. Sedangkan justru warga kelas menengah atas yang tingkat edukasinya cukup akan lebih kritis untuk memilih atas dasar logika dan penilaian sendiri tanpa harus merefer ke media massa dimana kandidat Gubernur jor joran beriklan. 
Dalam marketing, profile pemilih ini bisa kita anggap target market yang biasa kita hujani dengan iklan dan promo dari produk kita. Maka itu perlunya segmentasi pasar bagaimana kita menentukan profile target market dan menentukan strategi marketing yang tepat. Tepat caranya dan effesien biayanya. Tapi sebuah "produk mass market yang super" adalah yang bisa diserap sebanyak mungkin varian segmen pasar.

Dalam bisnis, misalnya jika kita menjual produk hiburan keluarga yang target pasarnya sebetulnya adalah mass segmen. Persaingan di bisnis mass market yang sedang trend saat ini seperti "karaoke keluarga". Manajemen outlet karaoke keluarga merasa tidak perlu terlalu banyak melakukan promo di media massa yang diserap level masyarakat menengah atas. Mereka di level menengah atas ini sudah tahu karaoke keluarga, tidak perlu diedukasi lagi mengenai karaoke keluarga, punya uang lebih buat berkaraoke, punya standard sendiri mengenai kepuasan berkaraoke dan sepenuhnya pilihan brand karaoke keluarga  yang dibeli adalah atas keputusan mereka sendiri. Kendala mereka berkaraoke hanya dari ketersediaan waktu luang berkaraoke diluar kesibukan rutinitasnya. Selebihnya mereka aktif memilih sendiri dimana mereka akan berkaraoke berdasarkan banyak source yang dianggap bernilai bagi mereka, seperti referensi relasi, influence dari komunitas sosial mereka, pengalaman service excellent di kunjungan waktu sebelumnya,dan kelihatannya sama sekali bukan karena iklan, promo atau brochure yang dilakukan manajemen outlet karaoke. Bahkan bukan karena Iconnya.

Justru manajemen karaoke keluarga lebih keras berusaha untuk merebut perhatian mass segmen dan menjual room type small dan medium kepada level mass market. Room small dan medium juga tetap dijaga kualitas kenyamanan interior dan sound systemnya, bukan karena harga murah maka lantas diturunkan kualitas performancenya.
"Kampanye" dilakukan mulai penetapan harga room charge dan menu yang bersaing antar type room sejenis dari brand lain, sampai compliment, bonus, undian untuk segmen pasar ini. Hal ini harus dilakukan karena sebagai "karaoke keluarga" tetap karaoke ini didesign untuk dikunjungi sebanyak mungkin pelanggan dari 80% dasar piramida yang berada di level ekonomi menengah bawah. Semakin banyak tamu, semakin besar omzet dan semakin sering kunjungan walaupun nilai transaksinya kecil kecil saja, dibanding hanya berharap kunjungan 20% tamu menengah atas yang walaupun nilai transaksinya besar tapi kadang kadang saja datangnya dan bahkan "hilang berlibur" jika ada waktu libur kerja diatas 2 hari. Kami manajemen karaoke keluarga berjuang jauh lebih keras untuk merebut perhatian pasar akar rumput kami, dibanding dengan merebut perhatian segmen pasar menengah atas. Pada akhirnya "secara nurani" pasar akan memilih brand yang bisa menyentuh hati mereka,melibatkan emosional faktor yang membangkitkan loyalitas, bukan hanya sekedar menjadi pasar akar rumput ini sebagai obyek pasar Maka gunakanlah strategi pendekatan ala Jokowi. 

Saat ini citra Jokowi sudah hampir mendekatkan dirinya sebagai Icon pemimpin kota yang menjadi panutan. Walaupun Jokowi dipilih bukan karena beliau sudah menjadi Icon. Jadi jika pasca pemilihan ini Jokowi tidak menjaga citranya bisa diaplikasikan dan dirasakan memberikan perubahan perbaikan skala kota megapolitan yang jauh lebih besar daripada kota Solo kepada rakyat DKI Jakarta, maka Jokowi Ahok pun niscaya akan ditinggalkan rakyat DKI Jakarta di pemilihan Gubernur DKI Jakarta periode berikutnya. Saya tidak sedang menyatakan simpati kepada Jokowi ataupun Fauzi Bowo, karena saya hanya mengajak pembaca mengkorelasikannya dengan wacana marketing yang berguna untuk bisnis Anda. Terlebih saya bukan warga berKTP DKI Jakarta.

Maka dalam bisnispun jangan pernah terlena kalaupun brand dan bisnis Anda sudah menjadi trendsetter bagi pelanggan, karena brand  adalah "tumbuh", bisa tumbuh besar , berkembang atau kalau tidak dirawat dan dijaga dan selalu innovatif kreatif sebaliknya bisa sakit, makin layu dan mati, ditinggal pelanggannya. Karena pesaing lain juga bebernah dan tumbuh. Kompetisi dalam setiap aspek kehidupan selalu ada. Bukan hanya kompetisi di PilGub, tapi sejatinya selalu terjadi kompetisi di bisnis. Bahkan jangan sampai brand Anda akhirnya dikenal sebagai brand besar yang ternyata memberi pengalaman kekecewaan kepada pelanggan. SEMANGAT SUKSES (Mirza A. Muthi)

No comments:

Post a Comment