Seringkali pelaku usaha kecil menengah
yang berhasil maju hanya sekejap menkmati sukses karena sekian waktu kemudian
usahanya justru gagal. Jika sudah gagal banyak kemudian yang disalahkan, apakah
karyawan yang katanya tidak kompeten, atau persaingan yang mulai ketat, atau
produk yang sudah tidak laku lagi dijual. Coba kita lihat bersama apa saja yang
mungkin terjadi dalam fenomena “bubble” , cepat menggelembung lalu pecah secara
drastic.
5 KESALAHAN UTAMA PELAKU USAHA KECIL
MENENGAH
UMKM ( Usaha
Mikro Kecil Menengah ) adalah salah satu jalan mengatasi pengangguran akibat
kurangnya lapangan kerja. Berwiraswasta mandiri bahkan merekrut karyawan
karyawan walaupun dalam jumlah yang kecil tapi jika dalam radius 10 km2 ada 100
unit usaha skala kecil di berbagai bidang maka paling tidak dapat menyerap 1000
orang pekerja. Bayangkan berapa pekerja yang bisa ditampung di unit unit usaha
kecil menengah untuk wilayah operasional DKI Jakarta.
Hanya saja UMKM
sering dikelola secara tradisional, kurang professional, hanya berumur pendek
dan tidak jarang tidak berkembang. Berikut diuraikan 5 kesalahan mendasar
pengelolaan UMKM pada umumnya
1. Promosi dan marketing tidak penting
Beberapa dari pengusaha skala menengah
yang sudah cukup berhasil dalam omzetnya menganggap bahwa marketing atau
program promo tidak perlu karena outletnya sudah cukup dikenal, mereka cukup
puas dengan omzet outletnya saat ini. Lainnya lagi bahkan berkeras bahwa
marketing adalah pemborosan uang, menghambur hamburkan uang untuk sesuatu yang
tidak penting dan tidak bermanfaat untuk bisnis, hanya mengurangi margin
katanya. Apalagi saat mereka berpikir pengunjung sudah datang sendiri ke outlet
tanpa kita harus promosi pasang iklan atau bikin program diskon misalnya.
Mereka baru pusing memikirkan marketing
pada saat orang tidak lagi datang ke restonya, orang tidak lagi belanja di
tokonya atau tidak lagi sekedar melihat lihat produknya. Namun pada saat itu
biaya marketing dan promo rasanya sangat berat. Apalagi pada saat kondisi omzet
sedang defisit. Masa jaya telah lewat berganti masa susah karena tidak pintar
‘menabung’ promo dan ‘memelihara’ pelanggan di masa jaya
Pada dasarnya setiap yang lahir pasti akan
mati. Dalam bisnis, setiap produk dan merk yang lahir diciptakan, diterima
pasar, disukai market dan tumbuh berkembang juga punya umur dan pasti sewaktu
waktu akan mati, hilang ditelan zaman. Tidak lagi dibutuhkan orang, tidak lagi
diingat orang karena telah digantikan oleh produk dan merk lain yang lebih
disukai pelanggan. Hanya saja panjang umurnya ini sangat tergantung kepada
pengelola usaha atau merk yang mengelola usahanya. Ada merek yang dari jaman
nenek kita dulu pakai sampai sekarang kita punya anak saat ini juga masih pakai
merek yang sama, seperti Lux, Pepsodent, Kijang. Tapi lebih banyak lagi merek
yang rasanya baru kemarin kita dengar, tapi kalau kita sekarang cari di toko
toko sudah hilang ditarik dari peredaran. “Product Life Cycle” pada setiap product
ini berbeda beda. Perhatikanlah, perusahaan besar saja yang dibidani oleh
banyak karyawan professional kadang kadang tidak mampu menjaga merknya dapat
bertahan dikenal untuk jangka waktu panjang, apalagi pengusaha kecil menengah
yang hanya punya satu atau beberapa outlet lebih bisa dimaklumi. Tapi biarpun
usaha kecil ataupun besar bukankah kita membuat usaha untuk langgeng dan
menguntungkan?
Bagaimana cara menjaga produk dan merek
produk/ usaha kita agar panjang umur?
Selain service, salah satunya adalah
dengan mempromosikan secara berkala baik brand maupun spesifikasi produk. Iklan
media, billboard, brosur , voucher, program discount, kalender promo, baju
brand, souvenir, sponsorship suatu event, dll adalah variasi cara agar produk
dan brand kita dikenal secara luas dan jangka panjang. Dalam hal penerimaan
panca indera, rumusnya sangat sederhana: buat sebanyak mungkin orang sering
mendengar, sering melihat, sering membicarakan mengenai hal produk dan brand
kita. Tentunya mengenai hal yang baik baik dan bukan hal sebaliknya.
Untuk perusahaan besar apalagi berskala
nasional , strategi promosi dan marketing komunikasi diupayakan dengan maksimal
oleh department sendiri walaupun belum menjamin hasilnya. Tapi itu tetap harus
dilakukan mengingat produk lain sejenis dari perusahaan kompetitor juga
melakukan hal yang sama untuk bersaing merebut perhatian pelanggan. Yang harus
diperhatikan untuk usaha kecil menengah adalah bagaimana dana yang terbatas
bisa digunakan untuk promo yang efektif dan berpotensi didengar, dilihat,
dibicarakan orang sebanyak banyaknya paling tidak di radius 2 km wilayah
operasional usaha dan untuk jangka waktu yang selama lamanya dengan
membawa pesan pesan positif dan menarik tentang produk maupun merk kita.
2. Manajemen pribadi ‘one man show’
Setiap usaha kecil menengah paling tidak
memiliki 5 – 40 orang karyawan yang bertugas menggerakan usaha sehingga
berjalan sebagai sebuah operasional bisnis yang berkesinambungan. Keseluruhan
karyawan tersebut memiliki posisi, tugas dan tanggung jawab sesuai kebutuhan.
Tentu saja upahnya juga disesuaikan dengan tanggung jawabnya masing masing.
Walaupun kadang dalam bisnis usaha kecil menengah tidak ada hirarki organisasi
yang resmi tertulis dan disosialisasikan seperti antara divisi, antar department
dan antar kepala seksi seperti pada perusahaan skala besar, tapi secara garis
kerja dan koordinasi tetap harus jelas dan dipahami setiap karyawan yang ada.
Tujuannya agar mereka merasa bekerja sesuai porsinya, dibayar sesuai tanggung
jawabnya, tidak disalahkan hal yang bukan kewajibannya, ditegur dan diberi
sanksi oleh pimpinan yang semestinya dan dihargai sesuai hasil kerjanya. Dengan
perasaan bekerja positif seperti itu maka suasana kerja akan kondusif dan
sangat berpengaruh terhadap output produk atau service yang akan diterima
pelanggan.
Kebanyakan usaha kecil menengah menerapkan
‘one man show’ dari pemiliknya atau orang yang dipercaya pemiliknya. Jika orang
tersebut bersifat bijaksana, tegas, mempunyai dasar dasar kepemimpinan yang
positif, cukup berpengalaman di bisnis dan berani mengambil tanggung jawab dan
resiko sebagai bagian dari bisnis maka usaha bisa saja usaha berjalan dengan
baik. Masalahnya jika usaha dikelola pribadi oleh karakter yang defensif,
egois, merendahkan, menyalahkan, menyudutkan, sok pintar, tidak bisa menerima
masukan, sok bossy, maka akan hancurlah usaha tersebut. Cirinya adalah tingkat
pergantian karyawan di perusahaan cukup tinggi. Karyawan hanya betah bekerja 1
bulan – 3 bulan lalu mengundurkan diri, atau memang akhirnya terpancing untuk
konfrontasi dengan pimpinan karena sering merasa tertekan dan stress. Kinerja
perusahaan juga tidak berprogress, hanya jalan di tempat bahkan dari bulan ke
bulan karyawan merasakan visi misinya semakin tidak jelas. Bisa dibayangkan
dengan situasi seperti itu apa mungkin bisa menjalankan usaha dengan efesien
dan terencana?
3. Usaha dipimpin oleh orang yang tidak
tepat
Serahkan pada ahlinya! Banyak usaha skala
kecil menengah yang di’wariskan’. Pewarisnya kadang bahkan sebenarnya tidak berminat
terhadap jenis usaha yang dulunya dikelola orang tuanya, tidak memiliki latar
belakang bidang bisnis yang sama atau memang tidak punya keinginan untuk
belajar menambah pengetahuan di bidang usaha tersebut. Jika seseorang tidak
memiliki ilmu atau pengalaman di bidang bisnis tertentu dan diminta untuk
menjalankannya, maka satu satunya jalan adalah dia harus menunjuk / membayar
seseorang yang mampu dan cocok untuk membantunya mengelola usaha dan
disosialisasikan ke seluruh karyawan. Jika tidak dilakukan maka lagi lagi
perusahaan menuju kearah kehancuran pelan pelan. Kadang rasa frustasi dan tidak
percaya diri dari pemilik usaha yang diwariskan dari pendahulunya membuat dia
jadi seperti sibuk dan repot untuk urusan hal hal yang sebenarnya tidak perlu
dan tidak efektif. Sebagai pemimpin perusahaan dia dituntut harus mampu
membangun perusahaan seperti pendahulunya, padahal dalam hati kecilnya dia
tidak merasa yakin. Membuat aturan aturan yang tidak kondusif, membuat jadwal
meeting berkepanjangan yang tidak efektif, mengambil keputusan keputusan yang
bahkan merugikan perusahaan untuk jangka panjang, melewatkan peluang yang belum
tentu bisa didapatkan kembali di lain waktu, membuat program marketing yang
boros tetapi tidak tepat sasaran dan lain lain.
4. Pengelolaan keuangan perusahaan
bercampur dengan keuangan pribadi
Uang adalah bahan bakar untuk menggerakan
operasional perusahaan. Jika bahan bakar bercampur dengan bahan lain yang tidak
senyawa maka bisa dibayangkan mesin pasti bermasalah dalam kinerjanya.
Bahayanya jika pemilik perusahaan merasa seluruh omzet yang didapat dari usaha
adalah miliknya, dan perusahaan diberikan ‘jatah’ uang bulanan sesuai
keperluan. Bukan pemilik mengambil ‘jatah’ nya dari kas perusahaan.
Komposisinya kalau sudah begini jadi tidak ideal. Uang yang diambil masuk
kantong pribadi lebih besar daripada dana yang dialokasikan untuk perusahaan.
Padahal perusahaan adalah ‘mesin pembuat uang’, sedangkan pribadi pemilik
adalah ‘pemakai uang’ . Uang yang dialokasikan untuk pemilik cenderung habis
karena digunakan untuk hal hal yang tidak produktif oleh dirinya atau
keluarganya bahkan oleh pihak lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan
perusahaan. Seharusnya, walaupun ini adalah usaha milik pribadi tetapi hirarki
pengaturan keuangan perusahaan harus sesuai komposisinya, atau terjadi masalah
perusahaan yang ‘kurang gizi’.
Yang lebih bahaya lagi jika keuangan
perusahaan dipakai untuk membayar ‘hutang hutang pribadi’ , maka secara
akutansi akan terjadi gali lubang tutup lubang. Dalam hal ini perusahaan akan
bleeding ( krisis keuangan ) jika terjadi masalah dengan perencanaan income
misalnya pendapatan harian yang tidak sesuai target atau keterlambatan
penerimaan pembayaran dari sebuah project. Hal ini terjadi karena pengeluaran
yang tidak produktif bahkan yang tidak berhubungan dengan perusahaan lebih
besar dari pendapatan usaha yang mungkin didapat. Berhati hati mengelola
keuangan adalah hal yang bijaksana, terutama dalam pengelolaan keuangan
UMKM.
5. Tidak siap mental untuk menjadi besar
Pada saat membangun usaha kecil menengah
bagi sebagian orang mungkin awalnya tidak berharap terlalu muluk akan
perkembangan usahanya. Cukuplah untuk memenuhi kebutuhan bulanan keluarga dan
bayar gaji beberapa karyawan. Tapi dalam perkembangannya ternyata perusahaan
maju pesat dan kini dalam waktu cukup singkat terbentang kesempatan memperbesar
usaha untuk keuntungan yang lebih besar, misalnya memperbanyak cabang,
melakukan ekspor produk, dll. Disini karakter dan mental pemilik usaha akan
sangat menentukan apakah dia akan tetap merasa cukup dengan kondisinya sekarang
atau berkeinginan meningkatkan bisnisnya ke tahap yang lebih tinggi lagi.
Beberapa pengusaha sebetulnya tampak tidak siap secara mental untuk berkembang
lebih besar. Sebagaimana diketahui semakin besar usaha, maka semakin besar
modal, semakin besar resiko, semakin besar pesaing memperhitungkan strategi
kita sebagai pesaing serius, juga semakin tinggi harapan pelanggan tehadap
produk atau jasa perusahaan kita. Mental dan karakter pengusaha skala kecil
menengah harus berkembang mengikuti skala usahanya jika perusahaan ingin lepas
landas dengan halus dan terbang dengan stabil. Seluruh perangkat kerja
perusahaan membutuhkan pembenahan. Mulai dari organisasi, skill karyawan,
perangkat kerja, marketing strategi, standard service / produk sebagai output
sampai mungkin waktu bersama keluarga yang bisa jadi lebih sempit. Bahkan jika
yakin dengan progress profitnya sehingga mulai berani untuk berhutang terencana
ke Bank untuk membesarkan perusahaan. Mungkin ini langkah yang cukup berisiko
mengingat selama ini berusaha dengan menggunakan modal kerja cukup dari dana
sendiri atau dukungan keluarga walaupun jumlahnya terbatas. Atau mungkin untuk
menghemat biaya atau mendatangkan potensi pelanggan baru maka mulai memikirkan
strategi kerjasama promo atau saling tukar pelanggan dengan berbagai pihak luar
yang selama ini belum pernah dilakukan.
Sekali melangkah untuk menjadi besar, maka
mundur kembali adalah suatu kesalahan karena akan banyak hal hal yang harus dikorbankan.
Jika pemilik belum siap secara mental, maka sebaiknya cukup memelihara dan
memperbaiki apa yang saat ini sudah ada dari segi kualitas, segi service maupun
citra dari usaha yang telah ada sekarang. Setidaknya itu cukup menjaga agar
pelanggan tetap merasa puas dan tidak lari ke produk/ brand lain walaupun
mungkin kita hanya bisa menghasilkan produksi dalam jumlah terbatas tapi dengan
kualitas terbaik. Dengan beberapa keunggulan point unik yang kita miliki dan
penyesuaian performance produk bahkan kita bisa meningkatkan harga jual agar
berkesan produk / service kita lebih eksklusif dan tidak pasaran. Margin yang
didapat tentunya akan semakin besar.
SEMANGAT SUKSES ( Mirza A.M.)